Sudah dapat diketahui secara pasti bahwa hampir
seluruh masyarakat berpikir bahwa kesenian modern atau kesenian kontemporer
semakin menggeser kesenian tradisional. Khususnya di Indonesia, negara yang
kaya akan seni dan budayanya, patut prihatin mengenai hal tersebut. Bahkan saya
pernah membaca blog orang Jogjakarta bahwa di Sleman dari 36 kesenian
tradisional ada 12 yang mati suri dan 4 dinyatakan telah mati. Kondisi seperti
ini tentunya akan semakin memperburuk kekayaan Indonesia akan culturenya.
Seharusnya kesenian tradisional tetap ada dan dilestarikan oleh para
penerusnya. Akan tetapi upaya seperti ini dirasa percuma ketika tidak ada lagi
masyarakat yang mengapresiasinya.
Anak muda zaman sekarang cenderung menyukai sesuatu
yang modern dan mencoba untuk mengikuti gaya hidup yang semakin maju. Jadi para
seniman tradisional pasti akan hilang dengan sendirinya seiring berjalannya
waktu saat tak ada yang menyaksikan mereka. Sebagai contoh seni tari reog
jathilan, jaman dulu mereka menari reog saat ada suatu acara tertentu di daerah
mereka, mereka pun dahulu lebih diapresiasi dan dihargai oleh masyarakat
sekitar. Namun sekarang mereka yang tetap berusaha untuk menerusakan kesenian
tradisional ini malah tak diapresiasi dengan layak. Akhirnya mereka pun
bermuara ke jalanan. Dapat dilihat di perempatan-perempatan kota, Semarang
misalnya di seberang Ada swalayan, setiap lampu lalu lintas berubah warna
menjadi merah maka mereka akan mulai beraksi dan menjelang lampu berubah hijau,
mereka akan menyodorkan baskom kepada para pengendara (meminta uang).
Sungguh sangat memprihatinkan ketika kesenian kita
diklaim oleh negara lain, tapi bagaimanapun juga kita tidak menghargai lagi
kebudayaan kita sendiri. Kita malah lebih menyukai kesenian kontemporer yang
pelan-pelan menghapus kebudayaan asli kita. Masuknya budaya-budaya modern
dipengaruhi dari kebudayaan luar yang masuk secara bebas ke dalam negeri ini
dan menghasutnya untuk menyukai budaya asing itu. Bukannya saya membenci budaya
luar, hanya saja saya prihatin dengan kebudayaan asli Indonesia.
Mengenai masalah modernisasi kesenian, saya cukup
bimbang untuk menentukan bagaimana menjelaskannya. Saya rasa modernisasi juga
turut serta mengikis kesenian tradisional Indonesia. Namun saya juga bingung
mengenai teori sesuatu hal yang berkembang adalah ciri utama dari sesuatu yang
hidup. Misalnya saja Bahasa Inggris, bahasa inggris mengalami tiga periode
besar perubahan yaitu bahasa inggris kuno, pertengahan dan modern. Dalam perkembangannya
bahasa inggris menyerap banyak bahasa dari luar, yang paling banyak adalah
bahasa perancis, latin dan scandinavia. Namun bahasa ini dianggap bahasa hidup
karena dia merupakan bahasa yang berkembang. Jadi dapat dikatakan kalau
perkembangan budaya kesenian adalah hal yang wajar dan alami karena kesenian
Indonesia hidup.
Sebenarnya di Indonesia masih ada juga beberapa orang yang peduli dan ingin turut mempopulerkan kembali kesenian tradidional Indonesia. Namun usaha mereka hanya akan berakhir sia-sia jika terus memainkan kesenian asli Indonesia, hasilnya mereka harus memadukan kesenian tradisional dengan nuansa modern untuk menarik minat masyarakat. Sebagai contoh Jogjakarta Hiphop Foundation (JHF), mereka berhasil mengambil perhatian masyarakat dengan menyanyikan lagu / tembang jawa dengan musik populer. Di satu sisi mereka berhasil melestarikan bahasa jawa, tapi mereka juga memodernkan lagu jawa tersebut. Mungkin dengan cara seperti ini bahasa kita dapat terus dilestarikan, tapi sekali lagi sudah tidak ada keaslian didalamnya. Anak-anak generasi mendatang pun semakin lama hanya akan mengenali tembang jawa dengan musik hip hop bukan dengan gamelan yang seharusnya dilantunkan.
Menanggapi hal ini, terserah para pembaca bagaimana seharusnya kita menanggapi modernisasi kesenian budaya di Indonesia. Haruskah kita menerima dengan baik modernisasi yang masih menyertakan kesenian asli atau harus tetap berpegang teguh pada kesenian tradisional asli yang semakin lama semakin terkikis...
Sebenarnya di Indonesia masih ada juga beberapa orang yang peduli dan ingin turut mempopulerkan kembali kesenian tradidional Indonesia. Namun usaha mereka hanya akan berakhir sia-sia jika terus memainkan kesenian asli Indonesia, hasilnya mereka harus memadukan kesenian tradisional dengan nuansa modern untuk menarik minat masyarakat. Sebagai contoh Jogjakarta Hiphop Foundation (JHF), mereka berhasil mengambil perhatian masyarakat dengan menyanyikan lagu / tembang jawa dengan musik populer. Di satu sisi mereka berhasil melestarikan bahasa jawa, tapi mereka juga memodernkan lagu jawa tersebut. Mungkin dengan cara seperti ini bahasa kita dapat terus dilestarikan, tapi sekali lagi sudah tidak ada keaslian didalamnya. Anak-anak generasi mendatang pun semakin lama hanya akan mengenali tembang jawa dengan musik hip hop bukan dengan gamelan yang seharusnya dilantunkan.
Menanggapi hal ini, terserah para pembaca bagaimana seharusnya kita menanggapi modernisasi kesenian budaya di Indonesia. Haruskah kita menerima dengan baik modernisasi yang masih menyertakan kesenian asli atau harus tetap berpegang teguh pada kesenian tradisional asli yang semakin lama semakin terkikis...
No comments:
Post a Comment